Pesoalan abrasi di perbatasan NKRI belum ditanggulangi dengan baik. Seperti yang terjadi di sebagian daratan wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti. Padahal keputusan Kepulauan Meranti yang masuk sebagai daerah perbatasan bukan hanya omong kosong.
RIAUPOS.CO - Faktanya, saat ini sejumlah desa di kepulauan Meranti masuk kategori 188 desa yang ditetapkan sebagai titik refrensi Indonesia. Itu tertuang dalam PP 37/208.
Selain itu, daerah ini juga telah ditetapkan sebagai Pulau Pulau Kecil Terluar (PPKT) oleh Presiden yang dimuat dalam Perpres 6/2017 silam. Meranti juga masuk dalam Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT), seperti yang tertuang dalam PP 63/2010.
Lokasi tersebut tepatnya di Pulau Rangsang, Kepulauan Meranti yang saat ini menjadi titik terparah bencana abrasi di Provinsi Riau.
Dihimpun Riau Pos dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kepulauan Meranti. Total garis pantai yang amblas karena abrasi di Kepulauan Meranti saat ini sepanjang 106, 87 Km. Dari peta sebarannya, Pulau Rangsang panjang dampak ambrasi berkisar 73,47 Km yang terdiri dari Kecamatan Rangsang Pesisir 44,8 Km, Kecamatan Rangsang 17,92 Km, Kecamatan Rangsang Barat 10,75 Km.
Sementara di Pulau Merbau, pantai yang tergerus abrasi sepanjang 21,3 Km. Jumlah tersebut terdiri dari Kecamatan Tanjung Bomat 5,2 Km, Kecamatan Tanjung Kingkong 16,1 Km, Pulau Padang sepanjang 6,6 Km, dan Kecamatan Merbau 6,6 Km. Sisanya lagi terdapat di Pulau Tebingtinggi dengan panjang abrasi sepanjang 5,5 Km tepatnya di Pantai Mekong, Kecamatan Tebingtinggi Barat.
Menyikapi itu tak banyak yang dapat dilakukan pemeriksaan daerah dan masyarakat setempat. Karena fungsi penanggulangan menjadi wewenang pemerintah provinsi dan pusat. Pemerintah daerah hanya berupaya mengusulkan.
Selain itu mereka juga kerap mensosialisasilan pentingnya keberadaan alam untuk memacu inisiatif masyarakat agar dapat mandiri dalam melakukan pemulihan. Walaupun demikian tidak banyak masyarakat yang terpanggil untuk menggagas penanggulangan secara mandiri, hanya segelintir orang saja. Salah seorang diantaranya adalah warga Anak Setatah Pulau Rangsang.
Jaga Pulau Rangsang dari Abrasi ala Kadar
Dia adalah Kadar Siono. Dulu, dia bolak-balik Indonesia-Malaysia, untuk bekerja. Sekitar 2004, Kadar diminta Kepala Desa Anak Setatah, Rangsang Barat, Meranti, Riau, jadi Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas).
Tugasnya, mengawasi orang-orang yang menebang mangrove dan pakai racun buat tangkap ikan. Kedua praktik ini dilarang di Pulau Rangsang. Aturan ini ada karena kekhawatiran mangrove terus berkurang hingga pulau alami abrasi makin parah.
Kadar lalu berpikir untuk budidaya mangrove. Dia lalu mendirikan kelompok pelestarian wilayah pesisir bernama, Tegas, dua tahun kemudian.
Berdua dengan sang istri, Farida, Kadar membibit mangrove gunakan uang pribadi. Sesekali Kadar mengajak anak-anaknya dan keluarga. Mereka mencari bibit dengan sampan menyusuri desa-desa yang ditumbuhi mangrove di Pulau Rangsang.
Kadar dan Farida, sampai berjualan rambutan dan durian dari kebun mereka untuk beli polybag. “Ini demi wilayah kami. Masyarakat pun mulai ada yang respon,” kata Farida, belum lama ini (28/3) lalu.
Mereka membibit mangrove di sungai kecil samping rumah, dalam kubangan lumpur ketika sungai itu kering. Setelah usia bibit tiga bulan, Kadar mengajak murid sekolah di Anak Setatah untuk membantu menanam di sepanjang tepi laut Dusun Karet, tak jauh dari belakang rumah Kadar.
Kadar bilang, tak punya biaya memadai untuk melakukan pekerjaan ini sendirian. “Anak-anak sekolah yang mau bantu itu hanya saya kasih uang jajan yang tak seberapa,” katanya.
Sudahlah begitu, Kadar dan Farida, harus menghadapi cemoohan serta hinaan dari masyarakat pada awal-awal dia merintis pembibitan mangrove ini. Apa yang dia kerjakan dianggap mustahil.
Farida kuat karena suami menyakinkan dia untuk konsisten dengan pekerjaan itu. Sementara bibit kayu api-api tak mudah tumbuh. Berulangkali Kadar dan keluarga turun ke lumpur menyulam kembali bibit-bibit yang hanyut disapu ombak. Baginya, menanam mangrove harus sabar dan perlu ketekunan.
Kini, mangrove yang ditanam sejak bertahun lalu itu tumbuh subur dan padat dengan akar-akar rapat. Kadar sengaja melakukan itu di belakang rumah untuk membuktikan pada orang yang tak percaya bahwa, menyelamatkan abrasi bisa dengan menanam api-api.
“Kita tunjukan bukti, bukan omongan saja,” katanya.
Lambat laun, masyarakat mulai sadar, sudah ada yang peduli dan membantu Kadar membibit mangrove. Dan Pemerintah mulai mengetahui kegiatan Kadar bersama masyarakat. Bantuan pun mulai mengucur untuk Kelompok Tegas.
Hal ini, katanya, bisa membantu meringankan biaya mereka untuk beli polybag, bahkan memberi uang lelah pada masyarakat yang sudi berkubang di lumpur memasukkan bibit ke wadah. Akhirnya, Kelompok Tegas memiliki ketersediaan ribuan bibit mangrove dengan berbagai jenis. Ada yang mulai membeli. Permintaan pun datang dari luar Kepulauan Meranti. Kadang, bibit itu juga diserahkan dengan sukarela. Asal, katanya, mereka benar-benar tak punya uang dan mau menanam.
Siswa dan mahasiswa paling sering minta bibit mangrove Kadar, termasuk mahasiswa yang tengah mengikuti kuliah kerja nyata.
Sejak 2009, mangrove hasil pembibitan Kelompok Tegas sudah tersebar ke mana-mana. Kadar pun mulai dikenal. Itu juga berkat tamu dari luar yang sering datang di rumahnya. Ia kerap diundang jadi pembicara soal mangrove dan penyelamatan wilayah pesisir dari abrasi. Kadar juga jadi pembina adiwiyata di beberapa sekolah di Kepulauan Meranti.
Tak jarang pemerintah mengajaknya untuk menjadi tim penilai dokumen analisis mengenai dampak lingkungan. Sehingga sejumlah penghargaan berhasil ia terima.
Diantaranya Penghargaan Setia Lestari Bumi dari Bupati Kepulauan Meranti 2009-2011. Dua tahun kemudian tepatnya 2014, dia juara I Adibakti Mina Bahari kategori pengendalian pencemaran dan kerusakan ekosistem dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
Tahun 2015, pada Hari Nusantara dan Hari Ikan Nasional, dia meraih juara pada penilaian kelompok masyarakat pengawas tingkat Riau. Tahun 2017, dia kembali diberi penghargaan oleh Bupati Kepulauan Meranti sebagai penyelamat lingkungan.
Kadar terus membibit dan menanam mangrove di sepanjang bibir pantai yang terkena abrasi di Pulau Rangsang. Kadar sembari belajar mengenal jenis-jenis mangrove berikut istilah latinnya. Pengetahuan itu sebagai modal jadi pembicara di berbagai daerah.
“Saya belajar otodidak. Saya dapatkan ilmu itu justru dari mahasiswa dan peneliti yang datang ke rumah ini,” katanya.
Abrasi di Meranti Memerlukan Anggaran Sebesar Rp 3,6 T
Bupati Kepulauan Meranti H Muhammad Adil mengaku sedikit kewalahan dalam mempercepat penanggulangan. Langkah tersebut terbentur oleh wewenang.
Bahkan ia sempat diperkarakan oleh aktivis lingkungan karena telah menanggulangi abrasi di Pesisir Pangai Mekong Kecamatan Tebingtinggi Barat dengan cara yang salah. Menimbulkan pantai dengan sampah dan pecahan batu coran. Padahal dana penanggulangan diakui kepada wartawan melalui uang pribadi pada 2021 lalu.
Walaupun begitu ia menanggapi santai. Menurutnya laporan tersebut bentuk kritik terhadap kebijakannya suatu hal yang biasa. Ia mengaku biar masyarakat yang menilai mudarat dan manfaatnya.
“Boleh saja berpendapat. Saya tidak masalah. Tapi soal abrasi yang merusak permukiman warga ini menjadi masalah kita. Jadi terhadap mudarat dan manfaat biar masyarakat yang nilai,” ungkapnya ketika itu.
Walaupun demikian, ia merasa bingung. Karena penanggulangan harus dilakukan segera di sejumlah titik prioritas, walaupun harus menggunakan dana pribadi.
“Itu saya bantu sesuai dengan kemampuan saya pribadi. Yang belum terbantu terhadap rumah warga yang terancam tergerus abrasi bagaimana? Kita sama tunggu bulan Desember mendatang, teriak semua warga di sana tu. Saya yakin kalau tidak segera rumah warga itu akan rusak dibantai tingginya gelombang,” bebernya.
Pasalnya menurut Adil, seperti diketahui untuk penanggulangan abrasi di Kepulauan Meranti tidak menjadi wewenang pemerintah yang ia naungi, melainkan provinsi dan pusat.
“Kalau keuangan pribadi saya tidak kuat untuk mengakomodir semua. Sementara kita dari pemerintah daerah tidak bisa menganggarkan untuk penanggulangan yang semestinya dilakukan oleh provinsi sama pusat,” ujarnya.
Untuk itu ia meminta seluruh masyarakat yang terdampak, paham dengan kondisinya sebagai kepala daerah. Dengan demikian ia tetap butuh dukungan moral agar program skala prioritas dapat berjalan sesuai harapan.
“Kita adalah yang terpanjang, untuk daerah Riau ada sebanyak 161 kilometer yang terkena dampak abrasi, dan 106,87 kilometer itu ada di Kepulauan Meranti,” sambungnya lagi ketika diwawancara baru-baru ini.
Dari data tersebut bahkan diprediksi garis pantai akan bergeser 772,4 meter ke arah darat dari garis pantai.
Adapun laju abrasi yag terjadi di Kecamatan Rangsang Pesisir tidak kurang 3,6 M setiap tahunnya. Begitu juga di Kecamatan Rangsang hingga 8 M setiap tahunnya dan Kecamatan Rangsang Barat 8,8 M setiap tahunnya.
Menurutnya abrasi di Kepulauan Meranti dampak kurangnya pemahaman masyarakat terhadap fungsi mangrove. Aktivitas itu masih berlangsung hingga saat ini sebagai sumber penghasilan ekonomi masyarakat kecil.
Sedangkan faktor lingkungan adalah karakteristik tanah gambut, gelombang dan arus laut yang besar dari Selat Malaka. “Rusak dan hilangnya kebun masyarakar bahkan hilangnya tempat tinggal masyarakat,” ujarnya.
Sisi lain juga berpengaruh pada pertahanan keamanan. Panjang garis pantai juga berkurang hingga mempengaruhi luas wilayah negara.
Dari kajian jajarannya, kebutuhan anggaran sesuai dengan sebaran abrasi di Kepulauan Meranti maka dibutuhkan biaya yang sangat besar yaitu Rp3,6 triliun lebih.
Menyikapi itu ia mengaku tak henti mengejar bantuan dari pemerintah pusat agar penanggulangan segera teratasi.(gus)
Laporan WIRA SAPUTRA, Selatpanjang